Senin, 03 November 2008

Persediaan Obat ARV Kritis

Ketersediaan obat antiretroviral di sejumlah daerah di Tanah Air makin kritis. Jika masalah ini tidak segera diatasi, banyak orang dengan HIV/AIDS atau ODHA terancam putus berobat. Padahal, obat itu harus terus dikonsumsi para pasien yang terinfeksi HIV untuk memperkuat daya tahan.

Ada dua persoalan dalam hal kelangkaan tersebut. Di sejumlah daerah ARV langka akibat keterlambatan distribusi dari Departemen Kesehatan, tetapi secara umum kelangkaan juga disebabkan terbatasnya dana pengadaan obat ARV.

Data Depkes menunjukkan, jumlah ODHA pengguna ARV per April 2008 sebanyak 8.145 orang. Sejak tahun 2004, ARV dari pusat didistribusikan Depkes langsung ke rumah sakit tujuan. Di beberapa daerah, stok ARV kosong karena terlambat distribusi.

Soal dana, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes Tjandra Yoga Aditama pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional, Rabu (22/10) di Surabaya, menyatakan, Depkes akan merelokasi anggaran program lain untuk pengadaan obat ARV.

”Jadi, sisa anggaran program lain tahun ini dialihkan untuk membeli obat ARV. Relokasi anggaran ini diharapkan dapat menjamin ketersediaan obat ARV sampai Desember mendatang,” kata Tjandra Yoga. Jumlah dana yang dialihkan sekitar Rp 10 miliar, bersumber dari APBN.

Di Yogyakarta menipis

Di DI Yogyakarta, persediaan ARV menipis karena pasokan dari Jakarta terlambat tiga pekan. Pihak rumah sakit membagi-bagi dalam dosis kecil agar semua pengidap kebagian.

Penanggung jawab logistik obat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Sardjito Yogyakarta, Mujiono, kemarin di Yogyakarta, mengatakan, dua jenis ARV yang saat ini langka adalah ARV lini pertama, yaitu Efavirenz dan Stavudin. Kedua jenis ARV ini digunakan oleh 40 persen pasien HIV/AIDS di RSUP dr Sardjito.

Menurut Mujiono, beberapa waktu lalu stok dua jenis ARV itu pernah kosong. Kekosongan tersebut diatasi dengan meminjam persediaan ARV di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Hingga saat ini, RSUP dr Sardjito sudah meminjam 20 botol. ”Agar semua pasien dapat, saya membagi dalam paket dosis 5 hari. Biasanya, satu orang dapat dosis sebulan,” katanya.

Kelangkaan itu sudah menimbulkan kepanikan di kalangan pasien dan para pengelola klinik HIV/AID sebab mereka tidak tahu cara mendapat ARV. Selama ini, kiriman pemerintah merupakan satu-satunya sumber.

Menurut Mujiono, tersendatnya pasokan ARV mulai terasa sejak tiga bulan terakhir. Kiriman yang biasanya cukup untuk penggunaan tiga bulan terus berkurang. Bahkan, RSUP dr Sardjito sudah tidak memperoleh kiriman ARV selama tiga pekan terakhir.

Manajer Program Komisi Penanggulangan AIDS Kota Yogyakarta Lumowah Sebastianus mengatakan, sejauh ini baru RSUP dr Sardjito yang melaporkan kekosongan. Tiga rumah sakit lain yang ditunjuk menyalurkan ARV, yaitu RS Bethesda, RS Panti Rapih, dan RS PKU Muhammadiyah, belum memberi kabar.

”Begitu melapor, kami menganjurkan RSUP dr Sardjito mengambil Efavirenz di gudang farmasi kota Yogyakarta. Di situ memang ada cadangan untuk antisipasi keterlambatan pasokan,” katanya.

Lumowah menuturkan, kelangkaan ARV tidak hanya terjadi sekali. Tahun lalu, masalah yang sama juga muncul. Oleh karena itu, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta memutuskan menyimpan cadangan ARV di gudang farmasi kota. Dengan adanya cadangan itu, persediaan ARV di Kota Yogyakarta relatif aman untuk kebutuhan satu bulan.

Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia dalam siaran pers menilai kondisi itu menunjukkan, pemerintah gagal menyediakan akses perawatan bagi orang terinfeksi HIV. Oleh karena itu, pengelolaan penyediaan dan distribusinya harus segera dibenahi.

Tidak ada komentar: